The roots of gender bias: misogynist hadiths in pesantrens

Marhumah Marhumah

Abstract


Women are regarded as “the second class” by some people in pesantrens. This
knowledge has rooted in hadiths cited in the books studied and implemented
in many pesantrens. To counteract  this  tendency,  it  is  therefore  important  to
use  a  feminist  approach  to  review  and  criticize  the books which  can  also be
used  to understand and  solve  the problems of mis-interpretation of  religious
texts. The misogynist hadiths have been widely circulated and taught in pesantren
under  the authority of Kyai  (male  religious  clerics) and nyai  (female  religious
cleric) who  have  the  authority  to  decide which  hadiths  are  allowed  to  be
taught and socialized in religious teachings and sermons. This is because many
teachers emphasize the importance of preserving tradition and religious norms
disegarding gender bias. Some feminist activists have tried to reform the mindsets
of pesantren leaders both male and female by changing the authoritarian model
of  leadership  to  a  democractic  one. To  do  this, new  historical,  sociological
and anthropological approaches are required to re-interpret and contextualize
misogynist  hadiths.
Perempuan  dianggap  sebagai warga  “kelas  dua”  dalam  beberapa  kitab  yang
diajarkan di pesantren. Pengetahuan ini memiliki akar yang kuat dalam hadith-
hadith  yang  dikutip  dalam  buku-buku  yang  diajarkan  di  pesantren. Untuk melawan  arus  kecenderungan  ini,  penting  untuk menggunakan  pendekatan
feminis  dengan meninjau  kembali  dan mengkritik  kitab-kitab  tersebut.
Pendekatan ini dapat digunakan sebagai cara untuk memahami dan menyelesai-
kan masalah kesalahan tafsir pada teks teks keagamaan. Hadith-hadits misoginis
(membenci perempuan) diajarkan secara luas di pesantren di bawah wewenang
Pak Kyai  atau  Ibu Nyai  yang menentukan  kitab-kitab mana  yang  boleh  dan
dilarang di pesantren. Para guru tersebut lebih mementingkan menjaga tradisi
dan norma-norma agama yang seringkali bias jender. Beberapa aktivis feminis
telah mencoba mereformasi  pola  pikir  para  pengasuh  pesantren  baik  laki
maupun perempuan dari kepemimpinan yang otoriter ke kepemimpinan yang
demokratis. Untuk  itu,  pendekatan-pendekatan  historis,  sosiologis  dan
antropologis  yang  baru  diperlukan  guna memahami  ulang  hadith-hadith
misoginis  tersebut.

Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.18326/ijims.v5i2.283-304

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2015 Marhumah Marhumah

License URL: https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/


Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies indexed by: